| Terima kasih telah berkunjung!
![Bulukumba Bulukumba](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizlUoaPp6IM2gQn70m1lp_t1lXQMmVIl7f16jL94-Zf0Kefmn4SeFBhLTkPDiMzgFY1bVSaci4AVvSXHHomtABW1DwC7jq95X-w-P-bQLz9bXmm8Vecg3U9ZRgD9BBeggatxk1pP0j2B_1/s640/Kabar2.jpg) |
Salah satu jalan di Kabupaten Bulukumba
Penulis: Andhika Daeng Mammangka |
KABARPELOSOK.TK - Jalan raya bukanlah sekedar jalan raya yang terdiri dari rambu lalu lintas, marka jalan, penunjuk arah, aspal, bebatuan dan garis putih. Jalan raya adalah sebuah cermin besar atas semua fenomena sosial kita yang kompleks dan rumit.
Jalan raya bahkan juga menjadi ladang-ladang inspirasi cinta yang digubah ke dalam lagu, puisi, bahkan romansa-romansa lain yang terjabarkan dalam cerpen, novel, essay dan sebagainya. Sebutlah lagu Sepanjang Jalan Kenangan yang sangat popular tahun 1980an yang dinyanyikan oleh banyak penyanyi di antaranya; Rani, Broery Marantika ataupun Yuni sara. Meskipun melintasi zaman, lagu tersebut tetap nikmat dan syahdu walaupun telah digubah ke beberapa jenis musik sebagai pengiringnya.
Seorang pemikir sosial di Amerika bernama Ronal Primeau menulis sebuah buku berjudul Romance the Road; The Literature of American Highway. Menuliskan itu, Primeau menjelajahi jalan-jalan di Amerika. Dari perjalanannya itulah dia menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku sosial orang Amerika kontemporer. Bahkan dengan jalan raya, kita bisa mengenali identitas nasional sebuah bangsa. (dikutip dari Artikel Ahyar Anwar; dari buku Essay Tanpa Pagar, Koran Tempo Makassar 2013).
Jalan raya juga disebut oleh Ahyar Anwar, sebagai medium untuk melakukan protes sosial. Ahyar mengatakan bahwa protes sosial tersebut dapat berupa ketidakpatuhan pada rambu lalu lintas, menanaminya pohon pisang atau menjadikannya kolam ikan untuk memancing.
Ahyar dan Primeau sepertinya bersepakat bahwa jalan raya adalah cermin besar terhadap kehidupan sosial. Cermin untuk mengenali wajah-wajah dan perilaku sosial kita secara subjektif dan apa yang kita lakukan dan kita lihat di jalan raya; itulah wajah dan perilaku kita yang tergambarkan.
Fenomena Jalan raya sebagai sebuah wajah yang rumit mungkin bisa diurai dengan struktur sederhana yang merefleksikan kegamangan kita atas kepercayaan rakyat pada penguasa dalam mengurusi Negara. Jalan raya dibangun tentunya oleh material, mesin dan pekerja/buruh jalanan.
Material (aspal, pasir dan tanah) akan mengajak kita melihat jauh ke belakang (sejarah). Apakah material tersebut diambil dari sebuah lokasi tambang yang telah memiliki ijin operasional yang legal? Apakah tambang pasi atau batu tersebut tidak diekploitasi/dieksploasi secara berlebihan yang justru akan merusak lingkungan? Sampai disini, imajinasi kita akan diantarkan pada fakta-fakta tentang alam atau lokasi tambang yang tidak lagi bisa lagi menghasilkan material. Bisaanya ditinggalkan dan tidak ada upaya-upaya recovery atau perbaikan lingkungan pasca eksplorasi (untuk konteks Bulukumba, kita bisa menyimak beberapa wilayah seperti lembang Ujung Loe, Sungai Balantieng, Bijawang dan Tanah Beru). Untuk kerusakan yang besar, kita bisa bercermin pada eksplorasi alam atas timah di Belitung dan emas di Bombana dan Timika.
Fenomena material ini tentunya akan mengantarkan kita pada birokrasi pemerintah. Apakah mereka memiliki program yang jitu untuk melakukan recovery atau revitalisasi atas semua fenomena itu? Jika tidak, itu menjadi penanda bahwa kita sedang berada pada situasi yang mencemaskan dan juga menggemaskan. Cemas karena kita terhantui efek negatifnya. Gemas karena kita sama tahu itu buruk dan kita tidak melakukan apa-apa.
Pekerja (buruh pekerja jalan) yang berpanas-panasan dan membakar kulit mereka menjadi legam, peluh mereka yang berkilatan diterpa matahari, dekil karena debu dan peluh menjadi satu, adalah fenomena yang jika direnungi akan membuat kita pula membuka pikiran menjadi luas dan mendalam. Apakah kontraktor-kontraktor atau lembaga negara yang mempekerjakan mereka telah menyejahterahkan mereka? Mereka berada di jalan tentunya sebuah pertarungan hidup dan mati. Hidup karena mereka butuh makan dan juga mungkin anak istri mereka. Mati karena bisa saja, secara tak sengaja, pengendara ugal-ugalan melintas tergesa dan melindas mereka.
Di sisi lain, jika kita bercermin kepada kota-kota besar di dunia, pekerjaan yang dilakukan di jalanan, selalu memilih waktu yang sepi untuk mengerjakannya (malam), saat jalanan sedang sunyi. Sehingga pengerjaan jalan tidak terlalu berefek pada gangguan sosial seperti debu dan kemacetan. Demikian dengan material yang akan digunakan dalam pengerjaan jalan, selalu dalam posisi yang aman dan tidak membahayakan pengendara yang melintas.
Faktanya di negeri kita, contoh terkecil Bulukumba, pengerjaan jalan selalu memiliki efek sosial yang dahsyat. Material yang ditumpuk di tepi jalan dalam waktu yang lama membuat masalah lain, misalnya kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban jiwa (peristiwanya selalu berulang). Dan itu tidak menimbulkan efek edukasi terhadap buruh jalan dan pengendara untuk menempatkan material pada posisi aman dan pengendara untuk ekstra berhati-hati. Selalu dibiarkan begitu. Marka jalan atau penanda pengerjaan jalan sepertinya mati suri dalam menciptakan semiotika kesadaran, Hati-Hati Ada Pengerjaan jalan.
Pertanyaan lain adalah; apakah kontraktor yang melakukan pengerjaan jalan tersebut telah melakukan semuanya dengan baik dan bisa menghasilkan jalanan yang baik dan berkualitas (demikian dengan bangunan lain)? Mengapa, jalanan (bangunan) yang dibuat oleh penjajah Belanda lebih tahan lama dibandingkan dengan pengerjaan kontraktor zaman sekarang?, Mengapa umumnya jalanan yang dibangun sekarang mudah rusak dan berlubang? Kecurigaan-kecurigaan kita akan tiba pada satu kesimpulan yakni; KORUPSI.
KORUPSI-lah yang membuat bahan baku atau material menjadi tidak berdaya dan dikerjakan sesuai dengan spesifikasi teknis material. Jembatan mudah patah karena korupsi material beton dan juga besi dan sebagainya. Bahasa puisi yang kita kerap dengar adalah orang-orang rakus yang bisa menelan besi, pasir, kerikil dan semen sebagi sebuah perilaku koruptif.
Jalan raya adalah sajian makanan untuk jiwa. Kecurangan yang terjadi di sana adalah fakta-fakta yang membuktikan bahwa Indonesia atau Bulukumba secara dekat sedang tidak dalam keadaan damai dan sejahtera. Tidak dalam keadaan stabil, harmonis dan menyenangkan.
Menyimak berita media massa akan mengajak menikmati sajian pemberitaan ingkar sosial dan pikiran kita diajak pada asosiasi-asosiasi yang puitik (puisi kritik). Simaklah; seseorang yang juga mungkin diri kita kerap menerobos lampu merah atau mengabaikan tanda hati-hati; adalah kenyataan bahwa aturan-aturan yang ada kerap kita lindas dan membawa sensasi kesenangan yang subjektif. Mencuri uang Negara dengan cara yang paling lembut dan kita merasa nyaman karena tidak ketahuan. (tidak ada polisi lalu lintas yang menjaga traffic light) kita bebas menerobos dan tidak ada yang tahu, jalanan sedang sunyi. Seandainya kesadaran sosial kita ada, tentu, kita akan bersabar hingga lampu hijau menyala dan kita melintas dengan nyaman dan tidak merasa teancam dengan apa pun.
Simaklah bagaimana seseorang tertawa dengan wajah seperti pemenang saat melaju dengan kecepatan tinggi, menyalip kendaraan lain, memiringkan motor di tikungan dengan kecepatan di atas rata-rata, dengan tidak memiliki rasa cemas dan ketakutan akan resiko kecelakaan dan kematian, itu adalah sebuah fenomena lazim kita temukan dan semua baik-baik saja. Faktanya; secara psikologis, kita akan bertanya dengan sadar, bagaimana bisa seseorang yang baru saja lolos dari kematian, lolos, dan lolos lagi dan tertawa dengan wajah seperti pemenang. Ini adalah sebuah fenomena sakit jiwa kita dalam kehidupan sehari-hari.
Kita mungkin mencuri dengan lembut uang Negara, tanpa merasa bersalah, membuat orang banyak mengalami kesulitan dan kita hanya tertawa. Situasi ini tepat hampir sama dengan tertawa menang setelah lolos dari jeratan hukum. Kita mengalami kematian empati. Kita pun tidak lagi tertarik mengajak pengendara yang nekat itu untuk berhati-hati. Kita pun tak lagi tertarik memberikan saran dan nasehat agar setiap individu atau keluarga terdekat untuk tidak berlaku koruptif dengan banyak hal. Malah, kita minta diantar atau menumpang pada kendaraan si nekat dan kita malah meminta bagian atau jatah dari hasil korupsi.
Kota Bulukumba kini semakin banyak traffigh light. Hampir setiap perempatan jalan di dalam kota terpasangi. Seiring dengan itu, media lokal juga semakin gencar memberitakan berita peristiwa korupsi; jembatan, alat kesehatan, fasilitas teknologi pendidikan, Pamsimas, rabat beton, talud, dana transparansi, dan sebagainya. Ini seiring dengan Lakalantas yang juga terus terjadi. Tabrak lari, tabrakan, mobil terjungkal, bahkan curanmor dan sebagainya.
Jalan raya kita sedang mempertontonkan Fasisme (Ahyar Anwar). Tepat sama dengan fasisme politik dan birokrasi kita. Di politik kita saling jegal, di birokrasi kita alur tanda tangan semakin panjang dan memantul-mantul. Birokrasi menjadi anti kritik, anti menerima saran, dan semua membisu dalam kors panjang di jalan raya, DEMONSTRASI menutup jalan raya, sebagai bagian dari frustasi musyawarah mufakat. Rakyat dan mahasiswa menutup jalan, memacetkan jalan dan menyusahkan rakyat. Jalan raya adalah hati para penyair. Tempat orang Bulukumba dan orang Indonesia menyatakan protes dengan klakson yang memekik, menerobos lampu merah, memancing dan menanaminya pisang, menyalip kendaraan lain, memarkir kendaraan seenak hati, membelah jalan sempit untuk kepentingan pribadi.
Jalan Raya adalah lagu kenangan kita. Lagu kenangan yang akan terus ternyanyikan dan sambil begandengan tangan dengan kekasih, di dalam gerimis, di antara lubang dan tumpukan material; sambil menyatakan bahasa rindu; bahasa cinta; bahasa keyakinan; Apapun yang terjadi di jalan, itu terjadi dalam politik kita, sosialitas kita dan cinta kita yang paling getar dengan kebohongan yang paling lembut. Tak ada polisi, kita terobos lampu merah. Tak ada hansip atau Satpol PP, kita saling sikat di pos ronda, setelahnya, kita kembali berkhotbah tentang kebenaran(*)