Dr. Ahyar Anwar, S.S.,M.Si
Dosen Sastra di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar.
Dosen Sastra di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar.
I. Pendahuluan
Perkembangan umum mengenai kajian sastra lisan, setidaknya selama dua abad terakhir, telah dikembangkan tiga pendekatan yang berbeda untuk melakukan studi tradisi lisan. Pertama, adalah mengkaji tradisi lisan sebagai suatu bentuk “sastra klasik” atau “cerita rakyat” dan mengembangkan analisis terhadap unsur-unsur sastra yang terkandung didalamnya dan mengungkap nilai-nilai humanistik, kajiannya cenderung berfokus pada analisis komparatif. Kedua, adalah kajian yang melihat tradisi lisan sebagai ekspresi dari nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial yang pernah berfungsi didalam sebuah komunitas budaya suatu masyarakat. Kajian yang bersifat antropologis, terutama etnografer, menganalisis tradisi seperti fungsi-fungsi solidaritas kelompok atau penjelasan strukturalis tentang cara suatu masyarakat berada dalam kesatuan sosial
Para pakar yang melakukan studi pada kedua pendekatan tersebut, cenderung mengabaikan kebenaran tradisi lisan sebagai bagian dari perkembangan sejarah sebuah komunitas atau masyarakat itu sendiri, termasuk hanya memandang sastra lisan sebagai sebuah artefak historis. Bahkan sebagian pakar berpendapat bahwa sastra lisan tidak berisi informasi historis yang valid. Kajian yang ketiga adalah studi sastra lisan yang memandang bahwa tradisi lisan merupakan bukti sejarah yang valid. Pendekatan ketiga ini, memahami sastra lisan sebagai bagian dari konteks budaya dan sejarah sosial dari sebuah epik yang mengandung aspek performatif tradisi lisan dan penataan budaya yang terjadi di dalamnya. Untuk itu dianggap penting untuk mengajukan sebuah kajian sastra lisan yang memandang berbagai bentuk sastra lisan adalah bagian proses budaya dan sejarah komunitas yang terkait dengan identitas moral dan karakter.
Perkembangan umum mengenai kajian sastra lisan, setidaknya selama dua abad terakhir, telah dikembangkan tiga pendekatan yang berbeda untuk melakukan studi tradisi lisan. Pertama, adalah mengkaji tradisi lisan sebagai suatu bentuk “sastra klasik” atau “cerita rakyat” dan mengembangkan analisis terhadap unsur-unsur sastra yang terkandung didalamnya dan mengungkap nilai-nilai humanistik, kajiannya cenderung berfokus pada analisis komparatif. Kedua, adalah kajian yang melihat tradisi lisan sebagai ekspresi dari nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial yang pernah berfungsi didalam sebuah komunitas budaya suatu masyarakat. Kajian yang bersifat antropologis, terutama etnografer, menganalisis tradisi seperti fungsi-fungsi solidaritas kelompok atau penjelasan strukturalis tentang cara suatu masyarakat berada dalam kesatuan sosial
Para pakar yang melakukan studi pada kedua pendekatan tersebut, cenderung mengabaikan kebenaran tradisi lisan sebagai bagian dari perkembangan sejarah sebuah komunitas atau masyarakat itu sendiri, termasuk hanya memandang sastra lisan sebagai sebuah artefak historis. Bahkan sebagian pakar berpendapat bahwa sastra lisan tidak berisi informasi historis yang valid. Kajian yang ketiga adalah studi sastra lisan yang memandang bahwa tradisi lisan merupakan bukti sejarah yang valid. Pendekatan ketiga ini, memahami sastra lisan sebagai bagian dari konteks budaya dan sejarah sosial dari sebuah epik yang mengandung aspek performatif tradisi lisan dan penataan budaya yang terjadi di dalamnya. Untuk itu dianggap penting untuk mengajukan sebuah kajian sastra lisan yang memandang berbagai bentuk sastra lisan adalah bagian proses budaya dan sejarah komunitas yang terkait dengan identitas moral dan karakter.
Pandangan umum masyarakat sendiri terhadap sastra lisan bukan lagi
menjadi bagian dari kebudayaan kontemporer. Terutama dalam perkembangan
kebudayaan global yang popular. Pandangan masyarakat awam bahkan banyak
pakar yang melakukan studi sastra lisan adalah (1) sastra lisan
merupakan kisah-kisah kuno yang tidak relevan dengan masa kini. (2)
Sastra lisan berkembang dalam situasi sosial yang berbeda. (3) sastra
lisan dihasilkan dari komunitas yang belum mengenal huruf dan mempunyai
sistem pengetahuan yang masih sederhana. (4) sastra lisan mempunyai
metode berbeda untuk memahami dunia ketimbang masyarakat modern. (5)
sastra lisan menyampaikan pengetahuan dalam bentuk metafora dan esensi
yang bersifat ahistoris. (6) Sastra lisan hanya mengandung informasi
tentang masa lalu yang disusun di luar relevansi sehingga sastra lisan
tidak mengandung bukti historis yang sah.
Padahal, sastra lisan muncul dalam struktur perkembangan sejarah masyarakat yang kompleks. Di Sulawesi Selatan, sastra lisan tidak berhubungan dengan kasus keberaksaraan. Sehingga tidak dapat disamakan, dalam beberapa kasus, dengan penelitian ataupun kajian sastra lisan yang berkembang di Barat. Pakar sastra lisan di Barat cenderung memandang sastra lisan adalah tradisi lisan atau cerita rakyat (folklore) yang berkembang dalam masyarakat yang tidak atau belum mengenal huruf. Dari konsepsi yang demikianlah para pakar di Barat pada awalnya hanya berusaha untuk mengumpulkan teks lisan baik dari masyarakat dianggap sebagai yang belum mengenal huruf. Baru pada awal abad kedua puluh studi tradisi lisan Folklore menjadi studi sastra lisan sebagaimana muncul dalam karya-karya Milman Parry dan Alfred Lord . Berbagai bentuk sastra lisan, seperti epos, terbukti mempunyai stabilitas yang kongkrit untuk bertahan selama jangka waktu yang lama. Para filsuf kontemporer seperti Friederich Nietzche, Sigmund freud, Alfred Jung, Albert Camus, Michel Foucault, Jacques Lacan justru mengungkapkan perilaku masyarakat kontenmporer dari sudut pandang Iliad, Sisipus, dan Odyssey sebagai model untuk untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar masyarakat kontemporer.
Padahal, sastra lisan muncul dalam struktur perkembangan sejarah masyarakat yang kompleks. Di Sulawesi Selatan, sastra lisan tidak berhubungan dengan kasus keberaksaraan. Sehingga tidak dapat disamakan, dalam beberapa kasus, dengan penelitian ataupun kajian sastra lisan yang berkembang di Barat. Pakar sastra lisan di Barat cenderung memandang sastra lisan adalah tradisi lisan atau cerita rakyat (folklore) yang berkembang dalam masyarakat yang tidak atau belum mengenal huruf. Dari konsepsi yang demikianlah para pakar di Barat pada awalnya hanya berusaha untuk mengumpulkan teks lisan baik dari masyarakat dianggap sebagai yang belum mengenal huruf. Baru pada awal abad kedua puluh studi tradisi lisan Folklore menjadi studi sastra lisan sebagaimana muncul dalam karya-karya Milman Parry dan Alfred Lord . Berbagai bentuk sastra lisan, seperti epos, terbukti mempunyai stabilitas yang kongkrit untuk bertahan selama jangka waktu yang lama. Para filsuf kontemporer seperti Friederich Nietzche, Sigmund freud, Alfred Jung, Albert Camus, Michel Foucault, Jacques Lacan justru mengungkapkan perilaku masyarakat kontenmporer dari sudut pandang Iliad, Sisipus, dan Odyssey sebagai model untuk untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar masyarakat kontemporer.
Masyarakat Sulawesi Selatan, memunculkan banyak sekali sastra lisan,
meskipun mereka telah mempunyai dan mengenal aksara Lontara. Epos La
Galigo, La Toa, berbagai bentuk cerita tolo, dongeng, sinrilik, pau-pau,
pappaseng, dan sebagainya, seharusnya dapat digunakan untuk memahami
masyarakat Sulawesi Selatan. Berbagai struktur nilai dan sejarah
peradaban yang terdapat dalam sastra lisan Masyarakat Sulawesi Selatan
harusnya dapat digali sebagai sebuah pondasi memahami
persoalan-persoalan sosial, antropologis, politik, dan keagamaan yang
sedang berkembang dalam masyarakat Sulawesi Selatan kontemporer.
II. Fungsi Kontemporer Sastra Lisan Sulawesi Selatan
Sastra Lisan Sulawesi Selatan sesungguhnya mengandung seperangkat informasi yang dapat digunakan untuk menghadapi tantangan hidup kontemporer. Berikut beberapa kekuatan sastra lisan Sulawesi Selatan yang tersembunyi. Sebagai sastra lisan, semua jenisnya, dapat disamakan dengan sastra kontemporer. Jika Mahatma Gandhi dapat belajar dan melakukan perubahan di India melalui karya-karya sastra Le Tolstoy, maka para pemimpin lokal di Sulawesi Selatan dapat belajar kearifan dari I La Galigo atau La Toa. Generasi muda dapat dibentuk dalam tradisi-tradisi kontemporer yang dikembangkan dari tradisi-tradisi sastra lisan klasik.
Pertama adalah I La Galigo, karya Epos mitologi masyarakat Sulawesi Selatan ini merupakan sebuah epik besar tentang penciptaan manusia dan semesta yang menunjukkan struktur komposisi yang membentuk pengalaman ontologis secara spiritual yang sangat kompleks.I La Galigo menunjukkan bagaimana manusia awal di Sulawesi Selatan membagi tiga wilayah kekuasaan yaitu (1) dunia atas, (2) dunia tengah, (3) dunia bawah. Representasi tersebut menunjukkan komposisi antara Tuhan, manusia, dan bumi. I La Galigo juga mengandung fase-fase epos yang bergerak dari spiritualitas mistik hingga pada aspek relasi kekerabatan sosial, dan ranah kekuasaan politik. Dengan demikian, La Galigo nyaris telah secara utuh menggambarkan konstruksi awal kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan yang kompleks.
II. Fungsi Kontemporer Sastra Lisan Sulawesi Selatan
Sastra Lisan Sulawesi Selatan sesungguhnya mengandung seperangkat informasi yang dapat digunakan untuk menghadapi tantangan hidup kontemporer. Berikut beberapa kekuatan sastra lisan Sulawesi Selatan yang tersembunyi. Sebagai sastra lisan, semua jenisnya, dapat disamakan dengan sastra kontemporer. Jika Mahatma Gandhi dapat belajar dan melakukan perubahan di India melalui karya-karya sastra Le Tolstoy, maka para pemimpin lokal di Sulawesi Selatan dapat belajar kearifan dari I La Galigo atau La Toa. Generasi muda dapat dibentuk dalam tradisi-tradisi kontemporer yang dikembangkan dari tradisi-tradisi sastra lisan klasik.
Pertama adalah I La Galigo, karya Epos mitologi masyarakat Sulawesi Selatan ini merupakan sebuah epik besar tentang penciptaan manusia dan semesta yang menunjukkan struktur komposisi yang membentuk pengalaman ontologis secara spiritual yang sangat kompleks.I La Galigo menunjukkan bagaimana manusia awal di Sulawesi Selatan membagi tiga wilayah kekuasaan yaitu (1) dunia atas, (2) dunia tengah, (3) dunia bawah. Representasi tersebut menunjukkan komposisi antara Tuhan, manusia, dan bumi. I La Galigo juga mengandung fase-fase epos yang bergerak dari spiritualitas mistik hingga pada aspek relasi kekerabatan sosial, dan ranah kekuasaan politik. Dengan demikian, La Galigo nyaris telah secara utuh menggambarkan konstruksi awal kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan yang kompleks.
Epos mitologi I La Galigo, memberikan gambaran tentang dunia sosial,
dunia spiritual dan alam. Dalam La Galigo terkandung berbagai bentuk
makna hidup dan tindakan yang harusnya dilakukan oleh orang-orang
Sulawesi Selatan dalam menghadapi kehidupan mereka. Sebagai contoh,
perjalanan tokoh Sawerigading dalam mencari cinta, menunjukkan kekuatan
tekad, ketabahan, kesabaran, keberanian, dan sekaligus tanggung jawab.
Kualitas “perjalanan” yang digambarkan dalam kisah Sawerigading dalam
epos mitologi I La Galigo, sesungguhnya mengacu pada perjalanan, dalam
arti yang sangat nyata, sebuah perjalanan jiwa manusia. Dengan cara ini,
mitologi berfungsi sebagai semacam pencarian jiwa. Epos I La Galigo
sebenarnya mempunya fungsi besar sebagai panduan dalam pencarian diri
untuk diri manusia Sulawesi Selatan dan selalu masih sangat relevan
dalam perjalanan melalui kehidupan bagi manusia Sulawesi Selatan
kontemporer.
Gagasan sastra lisan seperti I La Galigo bersifat “integratif” dalam fungsinya yang kompleks. Melalui sastra lisan I La Galigo, alam dan budaya, tindakan dan pikiran, dan diri individu sendiri dan “orang lain” yang dimasukkan ke dalam dialog satu sama lain. Mitologi menunjukkan kepada kita banyak tentang makna dan kekuasaan secara metaforik melalui kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa khas sesungguhnya dapat dipahami dalam hal pengaturan sendiri dalam jaring kehidupan global.
Kedua adalah La Toa, sastra lisan Sulawesi Selatan tersebut, mengandung nilai kebijaksanaan dari pengalaman pemerintahan dan politik manusia dari generasi ke generasi. Dalam pengertian ini Sastra lisan La Toa adalah cara pikir politik original dan kompleks yang memberi pondasi kebudayaan manusia Sulawesi Selatan. Membaca La Toa berarti membangun pengalaman generasi sebelumnya dengan persoalan generasi kontemporer. La Toa merupakan bentuk asli dari pendidikan politik di Sulawesi Selatan, didalamnya terdapat nilai-nilai sosial-politik dan sistem pengetahuan pemerintahan yang dapat ditransmisikan kedalam praktik politik dan pemerintahan kontemporer.
Ketiga, berbagai bentuk sastra lisan dongeng di Sulawesi Selatan sesungguhnya dirancang sebagai instrumen sosial budaya untuk membentuk pertumbuhan kepribadian anak-anak. Dongeng-dongeng di Sulawesi Selatan mengandung sugesti psikologis untuk mengembangkan kepribadian anak dan memicu kepercayaan diri untuk tumbuh mandiri. Beberapa dongeng bahkan telah mengandung disain moral yang dapat digunakan untuk membentuk karakter yang anti korupsi yang justru saat ini menjadi persoalan bangsa yang sulit diatasi.Bahkan, banyak dongeng-dongeng Sulawesi Selatan mengandung data-data ataupun petunjuk psikologis tentang lingkungan hidup.
Keempat, Beberapa sastra lisan di Sulawesi Selatan juga mengandung “peta” pengetahuan geografis seperti informasi perbintangan, pelayaran, dan pertanggalan. Melalui Sastra lisan, masyarakat Sulawesi Selatan telah mengembangkan pola-pola hidup yang berbasis pada komunikasi kosmik. Sekalipun cenderung bersifat mistik, tetapi menunjukkan adanya pola-pola pemahaman yang menjangkau antara Tuhan dan semesta. Persoalan kapan tanggal yang baik untuk menikah, hari yang baik untuk bepergian, waktu yang berkah untuk menanam padi, waktu apa saja yang terlarang (pemali) dan sebagainya, merupakan peta kompleks yang ada dalam sastra lisan di Sulawesi Selatan.
Kelima, beberapa bentuk sastra lisan tutur, seperti sinrilik, sesungguhnya mempunyai kekuatan sebagai proses penguatan masyarakat, mengekspresikan dan membentuk rasa kohesi sosial. Sinrilik, secara tradisi tidak sekedar sebagai sebuah sastra lisan tetapi adalah instrumen proses untuk mentransmisi sifat-sifat kepahlawanan, keagamaan, dan kebaikan. Model transmisinya dikonstruksi dalam bentuk hiburan tetapi bukan dalam format hiburan murni. Penggunaan instrumen musik khal yang cenderung mistik (keso-keso) justru akan membuat masyarakat yang menonton sinrilik, tidak hanya untuk mendengarkan cerita tetapi terhanyut untuk merenungkan, untuk mengambil hikmah. Hingga tiba saatnya bagi mereka untuk menggunakannya atau menerapkannya dalam kehidupan sosial mereka. Aspek lain dari sastra lisan sinrilik adalah konstruksi pengalaman bersama masyarakat yang telah mendengarkan cerita sinrilik akan saling membagi pengalaman sehingga proses transmisi moral terus menerus bekerja untuk membentuk perilaku-perilaku kepahlawanan dan kohesi sosial.
Gagasan sastra lisan seperti I La Galigo bersifat “integratif” dalam fungsinya yang kompleks. Melalui sastra lisan I La Galigo, alam dan budaya, tindakan dan pikiran, dan diri individu sendiri dan “orang lain” yang dimasukkan ke dalam dialog satu sama lain. Mitologi menunjukkan kepada kita banyak tentang makna dan kekuasaan secara metaforik melalui kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa khas sesungguhnya dapat dipahami dalam hal pengaturan sendiri dalam jaring kehidupan global.
Kedua adalah La Toa, sastra lisan Sulawesi Selatan tersebut, mengandung nilai kebijaksanaan dari pengalaman pemerintahan dan politik manusia dari generasi ke generasi. Dalam pengertian ini Sastra lisan La Toa adalah cara pikir politik original dan kompleks yang memberi pondasi kebudayaan manusia Sulawesi Selatan. Membaca La Toa berarti membangun pengalaman generasi sebelumnya dengan persoalan generasi kontemporer. La Toa merupakan bentuk asli dari pendidikan politik di Sulawesi Selatan, didalamnya terdapat nilai-nilai sosial-politik dan sistem pengetahuan pemerintahan yang dapat ditransmisikan kedalam praktik politik dan pemerintahan kontemporer.
Ketiga, berbagai bentuk sastra lisan dongeng di Sulawesi Selatan sesungguhnya dirancang sebagai instrumen sosial budaya untuk membentuk pertumbuhan kepribadian anak-anak. Dongeng-dongeng di Sulawesi Selatan mengandung sugesti psikologis untuk mengembangkan kepribadian anak dan memicu kepercayaan diri untuk tumbuh mandiri. Beberapa dongeng bahkan telah mengandung disain moral yang dapat digunakan untuk membentuk karakter yang anti korupsi yang justru saat ini menjadi persoalan bangsa yang sulit diatasi.Bahkan, banyak dongeng-dongeng Sulawesi Selatan mengandung data-data ataupun petunjuk psikologis tentang lingkungan hidup.
Keempat, Beberapa sastra lisan di Sulawesi Selatan juga mengandung “peta” pengetahuan geografis seperti informasi perbintangan, pelayaran, dan pertanggalan. Melalui Sastra lisan, masyarakat Sulawesi Selatan telah mengembangkan pola-pola hidup yang berbasis pada komunikasi kosmik. Sekalipun cenderung bersifat mistik, tetapi menunjukkan adanya pola-pola pemahaman yang menjangkau antara Tuhan dan semesta. Persoalan kapan tanggal yang baik untuk menikah, hari yang baik untuk bepergian, waktu yang berkah untuk menanam padi, waktu apa saja yang terlarang (pemali) dan sebagainya, merupakan peta kompleks yang ada dalam sastra lisan di Sulawesi Selatan.
Kelima, beberapa bentuk sastra lisan tutur, seperti sinrilik, sesungguhnya mempunyai kekuatan sebagai proses penguatan masyarakat, mengekspresikan dan membentuk rasa kohesi sosial. Sinrilik, secara tradisi tidak sekedar sebagai sebuah sastra lisan tetapi adalah instrumen proses untuk mentransmisi sifat-sifat kepahlawanan, keagamaan, dan kebaikan. Model transmisinya dikonstruksi dalam bentuk hiburan tetapi bukan dalam format hiburan murni. Penggunaan instrumen musik khal yang cenderung mistik (keso-keso) justru akan membuat masyarakat yang menonton sinrilik, tidak hanya untuk mendengarkan cerita tetapi terhanyut untuk merenungkan, untuk mengambil hikmah. Hingga tiba saatnya bagi mereka untuk menggunakannya atau menerapkannya dalam kehidupan sosial mereka. Aspek lain dari sastra lisan sinrilik adalah konstruksi pengalaman bersama masyarakat yang telah mendengarkan cerita sinrilik akan saling membagi pengalaman sehingga proses transmisi moral terus menerus bekerja untuk membentuk perilaku-perilaku kepahlawanan dan kohesi sosial.
Beberapa pakar sastra lisan mengakui bahwa proses transmisi tradisi
lisan atau cerita rakyat telah memperkuat hubungan antara generasi pada
masanya. Terjalin rasa saling hormat diantara generasi yang sangat kuat.
Ada sisi keharuan bersama yang saling mentautkan pengetahuan bersama
tentang moral dan sekaligus memperkuat solidaritas masyarakat. Cara
menyajikan sinrilik yang dipenuhi dengan perkataan khas dan lelucon,
serta sesekali bisa direspon oleh penonton sesungguhnya menimbulkan
kekuatan bahasa dan memperkuat kebersamaan dan rasa kekeluargaan.
Komposisi penonton yang menyatu dalam satu baruga terbuka membentuk diri
mereka sebagai sebuah kesatuan keluarga. Situasi yang sangat berbeda
dengan hiburan-hiburan kontemporer yang dibentuk oleh keterpisahan,
seperti di bioskop atau televisi. Menurut Kern (1989), model transmisi I
La Galigo saat dituturkan dengan musik akan bersifat sangat khas pada
masanya. Sebagaimana Kern mendiskripsikan sebagai berikut :
“Setiap episode I La Galigo dinyanyikan dengan iringan musik bagaikan suatu arus bunyi, kata dan drama yang telah dikenal; disana sini dengan lekukan yang penuh kejutan yang menyentak perhatian para pendengarnya. Masyarakat berkumpul dan duduk bersama untuk mendengarkan sehingga mereka merasa kembali pada masa lampau, sehingga terasa suasana khidmat dan bahagia dan membuat mereka merasa damai. S(iapapun yang hadir dalam suasana pembacaan episode I La Galigo itu akan merasakan penyajian seni sastra suci dan akan merasakan dirinya terbelenggu oleh kisah-kisah didalamnya” (Kern, 1989)
Keenam, secara umum, sastra lisan masyarakat Sulawesi Selatan seperti pappaseng, sebenarnya bukan sekedar mengandung kekuatan dalam nilai-nilai moral tetapi juga berfungsi sebagai untuk pendidikan untuk mendengarkan dan membentuk kekuatan konsentrasi bagi mereka yang mendengarnya. Bisa dibayangkan dalam masyarakat Sulawesi Selatan klasik dimana epos I La Galigo dibacakan atau Pappaseng di bacakan, maka “kata-kata” memiliki kekuatan dan diperhatikan sebagai sebuah komposisi makna. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan klasik, telah mendapatkan pendidikan mendengarkan untuk tidak kehilangan rangkaian cerita atau tidak kehilangan kata kunci metaforik yang mengandung pesan moral yang penting. Jika kemampuan mendengarkan cerita atau pesan telah membentuk pengalaman dalam konsentrasi, maka masyarakat mempunyai kemampuan untuk saling mendengarkan dan memahami keberadaan satu sama lain. Kekuatan mendengarkan, memperhatian dan fokus, justru melahirkan kekuatan karakter yang mudah berkonsentrasi. Meskipun tidak didukung oleh penelitian yang valid, tetapi saya berani membentuk hipotesa bahwa kemampuan masyarakat Sulawesi Selatan melahirkan teknologi perkapalan (phinisi) yang kompleks dan rumit pada masanya sangat mungkin dipengaruhi oleh kemampuan konsentrasi dan fokus.
Ketujuh, beberapa karakter sastra lisan Sulawesi Selatan berfungsi untuk mengembangkan fleksibilitas pemikiran dan kesadaran kritis tentang peristiwa-peristiwa sosial dan membantu dalam melakukan pilihan-pilihan tindakan moral. Fungsi informasi yang terkandung dalam sastra lisan tidak ditujukan sebagai “fakta” atau “jawaban,” terhadap persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, tetapi tapi terbuka untuk di interpretasi oleh masyarakat yang mendengarkan. hal tersebut membantu masyarakat untuk mengembangkan inisiatif dan kemampuan kreatif memecahkan masalah aktual mereka. Berbagai bentuk sastra lisan di Sulawesi Selatan, seperti dongeng, sinrilik, dan pau-pau. Semua sastra lisan tersebut mengandung variasi yang kompleks sehingga mengajarkan nilai-nilai alternatif untuk mendekati masalah, dan bahwa situasi sosial memiliki banyak dimensi sehingga membentuk kompleksitas cara berfikir sejak anak-anak hingga dewasa. Kecenderungan yang berbeda pada generasi Sulawesi Selatan kontemporer adalah rasa terasing dari perubahan sosial.
“Setiap episode I La Galigo dinyanyikan dengan iringan musik bagaikan suatu arus bunyi, kata dan drama yang telah dikenal; disana sini dengan lekukan yang penuh kejutan yang menyentak perhatian para pendengarnya. Masyarakat berkumpul dan duduk bersama untuk mendengarkan sehingga mereka merasa kembali pada masa lampau, sehingga terasa suasana khidmat dan bahagia dan membuat mereka merasa damai. S(iapapun yang hadir dalam suasana pembacaan episode I La Galigo itu akan merasakan penyajian seni sastra suci dan akan merasakan dirinya terbelenggu oleh kisah-kisah didalamnya” (Kern, 1989)
Keenam, secara umum, sastra lisan masyarakat Sulawesi Selatan seperti pappaseng, sebenarnya bukan sekedar mengandung kekuatan dalam nilai-nilai moral tetapi juga berfungsi sebagai untuk pendidikan untuk mendengarkan dan membentuk kekuatan konsentrasi bagi mereka yang mendengarnya. Bisa dibayangkan dalam masyarakat Sulawesi Selatan klasik dimana epos I La Galigo dibacakan atau Pappaseng di bacakan, maka “kata-kata” memiliki kekuatan dan diperhatikan sebagai sebuah komposisi makna. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan klasik, telah mendapatkan pendidikan mendengarkan untuk tidak kehilangan rangkaian cerita atau tidak kehilangan kata kunci metaforik yang mengandung pesan moral yang penting. Jika kemampuan mendengarkan cerita atau pesan telah membentuk pengalaman dalam konsentrasi, maka masyarakat mempunyai kemampuan untuk saling mendengarkan dan memahami keberadaan satu sama lain. Kekuatan mendengarkan, memperhatian dan fokus, justru melahirkan kekuatan karakter yang mudah berkonsentrasi. Meskipun tidak didukung oleh penelitian yang valid, tetapi saya berani membentuk hipotesa bahwa kemampuan masyarakat Sulawesi Selatan melahirkan teknologi perkapalan (phinisi) yang kompleks dan rumit pada masanya sangat mungkin dipengaruhi oleh kemampuan konsentrasi dan fokus.
Ketujuh, beberapa karakter sastra lisan Sulawesi Selatan berfungsi untuk mengembangkan fleksibilitas pemikiran dan kesadaran kritis tentang peristiwa-peristiwa sosial dan membantu dalam melakukan pilihan-pilihan tindakan moral. Fungsi informasi yang terkandung dalam sastra lisan tidak ditujukan sebagai “fakta” atau “jawaban,” terhadap persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, tetapi tapi terbuka untuk di interpretasi oleh masyarakat yang mendengarkan. hal tersebut membantu masyarakat untuk mengembangkan inisiatif dan kemampuan kreatif memecahkan masalah aktual mereka. Berbagai bentuk sastra lisan di Sulawesi Selatan, seperti dongeng, sinrilik, dan pau-pau. Semua sastra lisan tersebut mengandung variasi yang kompleks sehingga mengajarkan nilai-nilai alternatif untuk mendekati masalah, dan bahwa situasi sosial memiliki banyak dimensi sehingga membentuk kompleksitas cara berfikir sejak anak-anak hingga dewasa. Kecenderungan yang berbeda pada generasi Sulawesi Selatan kontemporer adalah rasa terasing dari perubahan sosial.
Generasi yang dibentuk dalam tradisi sastra lisan yang baik merasa
diberdayakan oleh rasa kearifan tradisional mereka sebagai alat untuk
mereka gunakan sendiri, untuk menafsirkan dan digunakan dalam situasi
yang dianggap tepat. Anak-anak merasa tidak “diperintah” melalui
bentuk-bentuk aturan melainkan melalui cerita-cerita sehingga mereka
merasa menemukan sebuah pengalaman moral yang dapat digunakan. Bukan
merasa seperti berada dalam paksaan moral. Cerita-cerita dalam sastra
lisan di Sulawesi Selatan mengandung fleksibilitas konseptual untuk
pemberdayaan mental pribadi. Melalui cerita-cerita dalam sastra lisan
itulah masyarakat mempunyai cara pandang dunia yang kompleks dan
harmonis. Saastra lisan di Sulawesi Selatan menunjukkan cara
menyelesaikan persoalan-persoalan yang kompleks.
III. Bahaya Besar Dibalik Matinya Sastra Lisan
Sastra lisan adalah instrumen yang digunakan oleh sebuah komunitas untuk membentuk kebudayaan yang bijaksana melalui pembentukan pengalaman manusia antar generasi. Dalam pengertian ini, sastra lisan mempunyai peran sebagai apa yang dapat disebut sebagai perangkat penyemai atau penanam nilai-nilai moral yang didukung oleh sebuah kebudyaan. Transmisi informasi dalam sastra berfungsi untuk menghubungkan nilai-nilai yang telah dibentuk dan diakui oleh sebuah generasi dalam suatu masyarakat agar dapat terus berkembang bagi generasi lainnya. Sastra lisan memiliki daya mengendapkan nilai-nilai budaya yang sangat efektif.
Matinya Sastra lisan akan membuat sebuah komunitas budaya kehilangan fungsi edukatif yang penting. Pada masyarakat modern, fungsi edukatif dianggap telah tergantikan melalui pendidikan formal melalui berbagai jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Tetapi dalam perkembangan yang panjang, pendidikan ternyata hanya membantu dalam perkembangan kognitif dan intelektual. Pendidikan tidak dapat membentuk kekuatan karakter manusia. Di Indonesia, secara khusus di Sulawesi Selatan terjadi perubahan perilaku moral sosial generasi muda yang makin buruk. Sekalipun tingkat pendidikan masyarakat di Sulawesi Selatan meningkat dan membaik.
Data data kerusakan karakter di sulawesi Selatan dalam berbagai media disebutkan yaitu, perkelahian (tawuran), melakukan kekerasaan, narkoba, pornoaksi, perampokan ditambah dengan tingginya tingkat korupsi. Menurut data yang dirilis di kompasiana (kompasiana .com), Sulawesi Selatan pernah menjadi provinsi yang terkorup di Indonesia pada tahun 2009. Data kompasiana yang merilis data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) bahwa potensi kerugian negara di Sulawesi Selatan mencapai 1,17 triliun. Bahkan menurut data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) pada tahun 2012 (Bisnis-KTI.com) merilis Provinsi Sulawesi Selatan adalah provinsi terkorup di Sulawesi dengan Indeks pembangunan Manusia (IPM) hanya pada poin 72 atau setara dengan peringkat 19 dari seluruh provinsi di Indonesia.
Data tersebut menunjukkan rendahnya kualitas karakter manusia Sulawesi Selatan ditengah perkembangan kualitas pendidikan yang terus membaik. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pendidikan formal tidak dapat dijadikan satu-satunya elemen untuk membantu membentuk karakter manusia. Pertumbuhan kualitas pendidikan, baik dalam pendidikan menengah dan pendidikan tinggi di Sulawesi Selatan, tidak mampu menopang menguatnya pondasi kebudayaan dan pembentukan karakter moral yang baik.
Pergerakan dunia pendidikan formal yang berkembang ke arah yang pragmatis dan matinya sastra lisan di Sulawesi Selatan membuat generasi muda Sulawesi Selatan terputus dari pengalaman sejarah kultural dari generasi-generasi Sulawesi Selatan sebelumnya. Terutama terputus dari pengalaman moral kultural dari generasi sebelumnya yang dibentuk oleh proses penyemaian dan pembenihan moral melalui sastra lisan. Padahal, melalui sastra lisan, semua fungsi moral akan dialami sebagai sebuah pengalaman yang kemudian berproses untuk diulangi atau dipraktikkan dalam kehidupan aktual. Sastra lisan, mengandung karakter sejarah yang berisi nilai-nilai kepribadian yang dapat membentuk pengalaman. Menghidupkan sastra lisan berarti menghidupkan sejarah moral manusia Bugis, Makassar, Toraja yang lampau dalam pengalaman kehidupan manusia Sulawesi Selatan kontemporer. Sejarah moral atau sejarak karakter yang tumbuh dalam pengalaman adalah jaminan terbaik untuk hidupnya kembali karakter-karakter Sulawesi Selatan seperti pekerja keras, gigih, tekun, berani, jujur, dan saling menghargai, saling memanusiakan, saling mengingatkan.
Pada beberapa kasus penelitian kekuatan sastra lisan, menunjukkan bahwa kekuatan sastra lisan adalah kekuatan ekspresi moral yang muncul dalam peristiwa-peristiwa ataupun pada tindakan-tindakan. Kasus pada sastra lisan seperti La Galigo dan La Toa di Sulawesi Selatan, jika ekspresikan dalam sebuah bentuk pembacaan yang khas, sesungguhnya tidak hanya akan memunculkan kekuatan cerita ataupun kekuatan peristiwa tetapi juga dapat memindahkan pengalaman moral generasi kontemporer Sulawesi Selatan pada peristiwa dan kisah masa lalu yang seolah-olah hidup kembali. Menghidupkan sastra lisan tersebut akan membuat karakter-karakter yang dulunya membentuk karakter-karakter moral budaya Bugis, Makassar, Toraja itu kembali hidup. Seolah-olah Sawerigading, I La galigo, Kajao Lalidong, I Makdi Daeng Ri Makka hidup kembali. Pada sisi lain generasi kontemporer di Sulawesi Selatan seakan-akan kembali berada pada masa klasik, berada di sebuah pusat sejarah dan menjadi berada dalam ingatan moral yang khas. Kekuatan sastra lisan (yang menyerupai visual) adalah sisi hipnotis-mistik yang membuat pendengar merasa melihat peristiwa yang diceritakan terjadi, merasa berada didalam peristiwa itu, dan merasa memiliki pengalaman yang khas. Inilah yang membedakan antara sastra lisan dan pendidikan formal. Sastra lisan tidak hanya memberikan pengetahuan tetapi pengalaman hidup yang kompleks melalui kisah-kisah yang dipenuhi oleh struktur-struktur moral dan karakter yang luhur.
Efektifitas dari sastra lisan juga didukung dengan salah satu fungsinya yang menghibur. Hal ini yang membuat sastra lisan berbeda dengan pendidikan formal yang tidak menghibur sehingga tidak efektif dalam pembentukan karakter. Sinrilik misalnya, adalah karakter sastra lisan yang tidak saja menceritakan kisah-kisah dengan pembentukan karakter dan pengetahuan sejarah yang kaya. Sinrilik juga dikonstruk menjadi sangat menyenangkan. Sinrilik, pada masa digunakan sebagai instrumen pembentuk karakter, tidak hanya menanamkan informasi tetapi juga mengeksplorasi kemungkinan kreatif yang fleksibel untuk menanamkan karakter dengan cara yang menyenangkan.
Sebagai contoh, efek psikis dari sastra lisan, terutama dalam bentuk cerita-cerita rakyat, epos, maupun pesan-pesan akan menimbulkan efek cermin pada bahasa dalam pengalaman sebuah cerita, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jacques Lacan (Bracher, 1997) tentang teori instansi ego fase “cermin”. Tahap cermin adalah prototipe dari pengalaman “keakuan”. Sementara ego manusia pada fase bahasa dimana seseorang membentuk pengalaman dengan cara berbicara pada dirinya sendiri. Dalam sastra lisan, ditemukan efek cermin dalam bahasa yang sangat kuat. Seseorang yang tumbuh dalam tradisi sastra lisan yang baik akan berada dalam ego fase bahasa dan cermin sekaligus. Mereka merasa “Akulah cerita sendiri”, mereka merasa dirinya adalah Sawerigading yang heroik dan berkarakter itu. Sastra lisan, pada akhirnya akan memposisikan orang-orang dalam sebuah kisah. Mereka menjadi tahu dimana sesungguhnya tempat mereka dari cerita-cerita pada sastra lisan dan kerena mereka tahu posisi yang diharapkan pada mereka dalam sebuah cerita maka mereka dapat membentuk karakter mereka sesuai dengan karakter yang diharapkan dimiliki oleh mereka dalam cerita tersebut.
Cerita-cerita dalam sastra lisan Sulawesi Selatan seperti pada epos La galigo atau berbagai bentuk cerita I Tolo akan mengandung karakter yang ditempatkan untuk memposisikan diri. Kisah, dalam sastra lisan I Tolo Daeng Magassing (Effendy: 2005) misalnya yang teguh, berani, dan setia. Kisah tersebut jika didengarkan dan tumbuh dalam sistem ego manusia Sulawesi Selatan, maka mereka akan menempatkan diri mereka seperti karakter Daeng Magassing. Hilangnya cerita-cerita tersebut menunjukkan bahaya bagi kehidupan generasi Sulawesi Selatan kontemporer karena mereka kehilangan tempat untuk memposisikan karakter mereka dan kehilangan jalan untuk membentuk kehidupan mereka yang heroik.
IV. Penutup : Sastra Lisan sebagai Sebuah Pintu dan Jalan Pulang
Sastra lisan di Sulawesi Selatan, setidaknya telah digunakan sebagai sebuah transmisi pengetahuan, pendidikan, penanaman nilai, dan pembentukan karakter manusia yang telah terbukti mampu membentuk sebuah sistem budaya yang kompleks dan luhur. Di Sulawesi Selatan, sejarah sastra lisan setidaknya dapat diidentifikasi dengan sangat kuat telah berperan sejak abad ke X, sebagaimana ditegaskan oleh Mattulada (2003) bahwa “era Sawerigading” diperkirakan berlangsung pada abad ke X, sezaman dengan Sriwijaya. Jika diukur dalam durasi waktu, memudarnya transmisi sastra lisan di Sulawesi Selatan, terutama pada wilayah perkotaan telah berlangsung sejak tahun 1980-an. Dalam fase yang tidak lama, hanya sekitar 4 dekade, sastra lisan kehilangan peran transmisi secara signifikan. Artinya, konstruksi pengetahuan, pendidikan, penanaman nilai, dan pembentukan karakter yang telah berlangsung lebih dari sepuluh abad hilang begitu saja.
Hilangnya kekuatan transmisi sastra lisan di Sulawesi Selatan akan berarti sama dengan hilangnya sebuah pintu sejarah dan jalang pulang untuk mengetahui nilai dan karakter dasar orang Bugis, Makassar, dan Toraja. Ada pomeo yang mengatakan bahwa “Barang siapa yang mengabaikan sejarah, maka ia akan dikutuk untuk mengulanginya”. Jika masyarakat Sulawesi Selatan kehilangan pintu sejarah dan jalan pulang historisnya maka ia akan dikutuk untuk mengulangi proses pembentukan diri kembali.
Untuk itu, dalam Kongres Internasional II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan II tahun 2012 ini, dianggap perlu untuk mengajukan beberapa rekomendasi terkait dengan peran penting sastra lisan Sulawesi Selatan bagi sejarah masa depan komunitas Bugis, Makassar, dan Toraja.
Daftar Pustaka
Effendy, Ridwan. 2005. I Tolok Karya Rahman Arge, Studi Hubungan Antar Teks. Pustaka Pena Press. Makassar.
Kern, R.A. 1989. I La Galigo : Cerita Kuno. KITLV-LIPI. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
LaCapra, Dominics. 1987. History, Politics, and Novel. Cornell University Press. New York.
Lord, Albert B. 1991. The Singer of Tales. Harvard University Press. Cambridge.
Lowenthal, D. 1997. The Heritage Crusade and the Spoils of History. Viking. London.
Mark Bracher . 1997. Lacan, Discourse, and Social Change: A Psychoanalytic Cultural Criticism. Cornell University Press. New York.
Mattulada. 2003. “Sawerigading dalam Identifikasi dan Analisis”. Dalam La Galigo : Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia. Pusat Studi La Galigo Universitas Hasanuddin. Makassar.
Prott, L.V. 1998. International Standards for Cultural Heritage. In UNESCO World Culture Report. Unesco Publishing. Paris.
Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing. Orality and Literacy in the Malay World. University of California Press. Berkeley.
White, Hayden. 1984. “The Question of narrative in contemporary historical theory’. Dalam Jurnal History and Theory edisi 23-1 (1-33)
White, hayden. 1987. The Content of The Form : Narrative Discourse and Historical Representation. Jhon Hopkins University Press. Baltimore.
____________________________________
Makalah ilmiah yang dipresentasikan pada Kongres Internasional II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan dan Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional pada tanggal 1-4 Oktober 2012 di Hotel Sahid Jaya Makassar.
III. Bahaya Besar Dibalik Matinya Sastra Lisan
Sastra lisan adalah instrumen yang digunakan oleh sebuah komunitas untuk membentuk kebudayaan yang bijaksana melalui pembentukan pengalaman manusia antar generasi. Dalam pengertian ini, sastra lisan mempunyai peran sebagai apa yang dapat disebut sebagai perangkat penyemai atau penanam nilai-nilai moral yang didukung oleh sebuah kebudyaan. Transmisi informasi dalam sastra berfungsi untuk menghubungkan nilai-nilai yang telah dibentuk dan diakui oleh sebuah generasi dalam suatu masyarakat agar dapat terus berkembang bagi generasi lainnya. Sastra lisan memiliki daya mengendapkan nilai-nilai budaya yang sangat efektif.
Matinya Sastra lisan akan membuat sebuah komunitas budaya kehilangan fungsi edukatif yang penting. Pada masyarakat modern, fungsi edukatif dianggap telah tergantikan melalui pendidikan formal melalui berbagai jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Tetapi dalam perkembangan yang panjang, pendidikan ternyata hanya membantu dalam perkembangan kognitif dan intelektual. Pendidikan tidak dapat membentuk kekuatan karakter manusia. Di Indonesia, secara khusus di Sulawesi Selatan terjadi perubahan perilaku moral sosial generasi muda yang makin buruk. Sekalipun tingkat pendidikan masyarakat di Sulawesi Selatan meningkat dan membaik.
Data data kerusakan karakter di sulawesi Selatan dalam berbagai media disebutkan yaitu, perkelahian (tawuran), melakukan kekerasaan, narkoba, pornoaksi, perampokan ditambah dengan tingginya tingkat korupsi. Menurut data yang dirilis di kompasiana (kompasiana .com), Sulawesi Selatan pernah menjadi provinsi yang terkorup di Indonesia pada tahun 2009. Data kompasiana yang merilis data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) bahwa potensi kerugian negara di Sulawesi Selatan mencapai 1,17 triliun. Bahkan menurut data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) pada tahun 2012 (Bisnis-KTI.com) merilis Provinsi Sulawesi Selatan adalah provinsi terkorup di Sulawesi dengan Indeks pembangunan Manusia (IPM) hanya pada poin 72 atau setara dengan peringkat 19 dari seluruh provinsi di Indonesia.
Data tersebut menunjukkan rendahnya kualitas karakter manusia Sulawesi Selatan ditengah perkembangan kualitas pendidikan yang terus membaik. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pendidikan formal tidak dapat dijadikan satu-satunya elemen untuk membantu membentuk karakter manusia. Pertumbuhan kualitas pendidikan, baik dalam pendidikan menengah dan pendidikan tinggi di Sulawesi Selatan, tidak mampu menopang menguatnya pondasi kebudayaan dan pembentukan karakter moral yang baik.
Pergerakan dunia pendidikan formal yang berkembang ke arah yang pragmatis dan matinya sastra lisan di Sulawesi Selatan membuat generasi muda Sulawesi Selatan terputus dari pengalaman sejarah kultural dari generasi-generasi Sulawesi Selatan sebelumnya. Terutama terputus dari pengalaman moral kultural dari generasi sebelumnya yang dibentuk oleh proses penyemaian dan pembenihan moral melalui sastra lisan. Padahal, melalui sastra lisan, semua fungsi moral akan dialami sebagai sebuah pengalaman yang kemudian berproses untuk diulangi atau dipraktikkan dalam kehidupan aktual. Sastra lisan, mengandung karakter sejarah yang berisi nilai-nilai kepribadian yang dapat membentuk pengalaman. Menghidupkan sastra lisan berarti menghidupkan sejarah moral manusia Bugis, Makassar, Toraja yang lampau dalam pengalaman kehidupan manusia Sulawesi Selatan kontemporer. Sejarah moral atau sejarak karakter yang tumbuh dalam pengalaman adalah jaminan terbaik untuk hidupnya kembali karakter-karakter Sulawesi Selatan seperti pekerja keras, gigih, tekun, berani, jujur, dan saling menghargai, saling memanusiakan, saling mengingatkan.
Pada beberapa kasus penelitian kekuatan sastra lisan, menunjukkan bahwa kekuatan sastra lisan adalah kekuatan ekspresi moral yang muncul dalam peristiwa-peristiwa ataupun pada tindakan-tindakan. Kasus pada sastra lisan seperti La Galigo dan La Toa di Sulawesi Selatan, jika ekspresikan dalam sebuah bentuk pembacaan yang khas, sesungguhnya tidak hanya akan memunculkan kekuatan cerita ataupun kekuatan peristiwa tetapi juga dapat memindahkan pengalaman moral generasi kontemporer Sulawesi Selatan pada peristiwa dan kisah masa lalu yang seolah-olah hidup kembali. Menghidupkan sastra lisan tersebut akan membuat karakter-karakter yang dulunya membentuk karakter-karakter moral budaya Bugis, Makassar, Toraja itu kembali hidup. Seolah-olah Sawerigading, I La galigo, Kajao Lalidong, I Makdi Daeng Ri Makka hidup kembali. Pada sisi lain generasi kontemporer di Sulawesi Selatan seakan-akan kembali berada pada masa klasik, berada di sebuah pusat sejarah dan menjadi berada dalam ingatan moral yang khas. Kekuatan sastra lisan (yang menyerupai visual) adalah sisi hipnotis-mistik yang membuat pendengar merasa melihat peristiwa yang diceritakan terjadi, merasa berada didalam peristiwa itu, dan merasa memiliki pengalaman yang khas. Inilah yang membedakan antara sastra lisan dan pendidikan formal. Sastra lisan tidak hanya memberikan pengetahuan tetapi pengalaman hidup yang kompleks melalui kisah-kisah yang dipenuhi oleh struktur-struktur moral dan karakter yang luhur.
Efektifitas dari sastra lisan juga didukung dengan salah satu fungsinya yang menghibur. Hal ini yang membuat sastra lisan berbeda dengan pendidikan formal yang tidak menghibur sehingga tidak efektif dalam pembentukan karakter. Sinrilik misalnya, adalah karakter sastra lisan yang tidak saja menceritakan kisah-kisah dengan pembentukan karakter dan pengetahuan sejarah yang kaya. Sinrilik juga dikonstruk menjadi sangat menyenangkan. Sinrilik, pada masa digunakan sebagai instrumen pembentuk karakter, tidak hanya menanamkan informasi tetapi juga mengeksplorasi kemungkinan kreatif yang fleksibel untuk menanamkan karakter dengan cara yang menyenangkan.
Sebagai contoh, efek psikis dari sastra lisan, terutama dalam bentuk cerita-cerita rakyat, epos, maupun pesan-pesan akan menimbulkan efek cermin pada bahasa dalam pengalaman sebuah cerita, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jacques Lacan (Bracher, 1997) tentang teori instansi ego fase “cermin”. Tahap cermin adalah prototipe dari pengalaman “keakuan”. Sementara ego manusia pada fase bahasa dimana seseorang membentuk pengalaman dengan cara berbicara pada dirinya sendiri. Dalam sastra lisan, ditemukan efek cermin dalam bahasa yang sangat kuat. Seseorang yang tumbuh dalam tradisi sastra lisan yang baik akan berada dalam ego fase bahasa dan cermin sekaligus. Mereka merasa “Akulah cerita sendiri”, mereka merasa dirinya adalah Sawerigading yang heroik dan berkarakter itu. Sastra lisan, pada akhirnya akan memposisikan orang-orang dalam sebuah kisah. Mereka menjadi tahu dimana sesungguhnya tempat mereka dari cerita-cerita pada sastra lisan dan kerena mereka tahu posisi yang diharapkan pada mereka dalam sebuah cerita maka mereka dapat membentuk karakter mereka sesuai dengan karakter yang diharapkan dimiliki oleh mereka dalam cerita tersebut.
Cerita-cerita dalam sastra lisan Sulawesi Selatan seperti pada epos La galigo atau berbagai bentuk cerita I Tolo akan mengandung karakter yang ditempatkan untuk memposisikan diri. Kisah, dalam sastra lisan I Tolo Daeng Magassing (Effendy: 2005) misalnya yang teguh, berani, dan setia. Kisah tersebut jika didengarkan dan tumbuh dalam sistem ego manusia Sulawesi Selatan, maka mereka akan menempatkan diri mereka seperti karakter Daeng Magassing. Hilangnya cerita-cerita tersebut menunjukkan bahaya bagi kehidupan generasi Sulawesi Selatan kontemporer karena mereka kehilangan tempat untuk memposisikan karakter mereka dan kehilangan jalan untuk membentuk kehidupan mereka yang heroik.
IV. Penutup : Sastra Lisan sebagai Sebuah Pintu dan Jalan Pulang
Sastra lisan di Sulawesi Selatan, setidaknya telah digunakan sebagai sebuah transmisi pengetahuan, pendidikan, penanaman nilai, dan pembentukan karakter manusia yang telah terbukti mampu membentuk sebuah sistem budaya yang kompleks dan luhur. Di Sulawesi Selatan, sejarah sastra lisan setidaknya dapat diidentifikasi dengan sangat kuat telah berperan sejak abad ke X, sebagaimana ditegaskan oleh Mattulada (2003) bahwa “era Sawerigading” diperkirakan berlangsung pada abad ke X, sezaman dengan Sriwijaya. Jika diukur dalam durasi waktu, memudarnya transmisi sastra lisan di Sulawesi Selatan, terutama pada wilayah perkotaan telah berlangsung sejak tahun 1980-an. Dalam fase yang tidak lama, hanya sekitar 4 dekade, sastra lisan kehilangan peran transmisi secara signifikan. Artinya, konstruksi pengetahuan, pendidikan, penanaman nilai, dan pembentukan karakter yang telah berlangsung lebih dari sepuluh abad hilang begitu saja.
Hilangnya kekuatan transmisi sastra lisan di Sulawesi Selatan akan berarti sama dengan hilangnya sebuah pintu sejarah dan jalang pulang untuk mengetahui nilai dan karakter dasar orang Bugis, Makassar, dan Toraja. Ada pomeo yang mengatakan bahwa “Barang siapa yang mengabaikan sejarah, maka ia akan dikutuk untuk mengulanginya”. Jika masyarakat Sulawesi Selatan kehilangan pintu sejarah dan jalan pulang historisnya maka ia akan dikutuk untuk mengulangi proses pembentukan diri kembali.
Untuk itu, dalam Kongres Internasional II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan II tahun 2012 ini, dianggap perlu untuk mengajukan beberapa rekomendasi terkait dengan peran penting sastra lisan Sulawesi Selatan bagi sejarah masa depan komunitas Bugis, Makassar, dan Toraja.
- Sesuai dengan perlindungan warisan budaya dan pengakuan atas peran penting sastra lisan atau warisan budaya bukan benda oleh UNESCO dalam World Heritage Convention pada tahun 1972, maka diperlukan konvensi daerah untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai bentuk sastra lisan di Sulawesi Selatan yang terancam punah. Mengingat pentingnya transmisi informasi sejarah, sistem pengetahuan lokal (indigenous knowlede), pendidikan, nilai-nilai moral, dan pembentukan karakter yang terkandung pada berbagai bentuk sastra lisan di Sulawesi Selatan.
- Perlu dibentuk program-program menghidupkan kembali sastra lisan kedalam ingatan dan pengalaman generasi muda di Sulawesi Selatan. Mengingat pentingnya melawan dampak budaya globalisasi dan pentingnya identitas lokal dalam menghadapi tekanan global. Program-program menghidupkan kembali sastra lisan akan membantu melegitimasi peran nilai-nilai moral dalam menghadapi tantangan globalisasi dengan mengembangkan identitas dan karakter budaya lokal dalam kerangka bermasyarakat dan bernegara.
- Perlu ada pembentukan sistem pemberdayaan sastra lisan sebagai “kekayaan budaya yang hidup,” . melakukan inventarisasi dan pemetaan sastra lisan di Sulawesi Selatan untuk kemudian diserahkan ke Negara untuk didaftar sebagai hak kekayaan intelektual komunitas pada UNESCO sebagai karya agung budaya lisan Sulawesi Selatan dan pada World Intellectual Property Organization (WIPO) untuk menjadi bagian dari warisan kekayaan dunia. Untuk itu diperlukan program melestarikan keterampilan dan teknik yang diperlukan untuk kelanjutan warisan berbagai sastra lisan di Sulawesi Selatan.
- Perlunya melakukan sinergi antara sastra lisan dengan pendidikan formal. Perlu memperkenalkan sastra lisan dalam mata pelajaran khusus muatan lokal pada berbagai tingkatan lokal. Bahkan diperlukan mata pelajaran khusus mengenai sastra lisan seperti La Toa dan I La Galigo untuk menjadi bagian dari mata pelajaran yang membentuk karakter lokal.
Daftar Pustaka
Effendy, Ridwan. 2005. I Tolok Karya Rahman Arge, Studi Hubungan Antar Teks. Pustaka Pena Press. Makassar.
Kern, R.A. 1989. I La Galigo : Cerita Kuno. KITLV-LIPI. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
LaCapra, Dominics. 1987. History, Politics, and Novel. Cornell University Press. New York.
Lord, Albert B. 1991. The Singer of Tales. Harvard University Press. Cambridge.
Lowenthal, D. 1997. The Heritage Crusade and the Spoils of History. Viking. London.
Mark Bracher . 1997. Lacan, Discourse, and Social Change: A Psychoanalytic Cultural Criticism. Cornell University Press. New York.
Mattulada. 2003. “Sawerigading dalam Identifikasi dan Analisis”. Dalam La Galigo : Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia. Pusat Studi La Galigo Universitas Hasanuddin. Makassar.
Prott, L.V. 1998. International Standards for Cultural Heritage. In UNESCO World Culture Report. Unesco Publishing. Paris.
Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing. Orality and Literacy in the Malay World. University of California Press. Berkeley.
White, Hayden. 1984. “The Question of narrative in contemporary historical theory’. Dalam Jurnal History and Theory edisi 23-1 (1-33)
White, hayden. 1987. The Content of The Form : Narrative Discourse and Historical Representation. Jhon Hopkins University Press. Baltimore.
____________________________________
Makalah ilmiah yang dipresentasikan pada Kongres Internasional II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan dan Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional pada tanggal 1-4 Oktober 2012 di Hotel Sahid Jaya Makassar.