Kabar Update:

Menceritakan Berita.....

WEB INI MASIH DALAM TAHAP
PEMBANGUNAN DAN
PERBAIKAN

Penyair Sebagai Juru Bicara Kematian


SAJAK-SAJAK MAUT : Penyair Sebagai Juru Bicara Kematian 


Ahyar Anwar

“Pada dia yang mati, yang dengan kematiannya,
telah menghubungkan bagian-bagian waktu yang hilang”
(Afrizal Malna)


Sebelum menghadap sang Khalik, penyair Husni Djamaluddin –melalui pencatatan seorang sahabatnya- menuliskan sebuah puisi Ajal, Sebelum Datang . Dalam puisi terakhir Husni itu, termaktub  empat hal, yaitu (1) penyair berkomunikasi dengan kenyataan dirinya yang telah lama sakit, (2) Ia mahfum bahwa sebentar lagi akan tiba tamu yang akan datang tepat waktu, (3) Ia tahu bahwa hanya ada satu pilihan yaitu menunggu, (4) Ia ikhlas untuk kembali, sebelum menyatakan “ selamat pagi matahari, selamat malam rembulan, aku cinta kehidupan” .  Frasa ‘aku cinta kehidupan’ adalah wilayah kontradiksi dari keikhlasan penyair akan kematiannya. Maka tentu saja yang dimaksud Husni dengan “kehidupan” adalah komunikasi transendensial yang membuatnya sungguh-sungguh sadar bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah setelah kematian itu. Secara keseluruhan, puisi terakhir Husni adalah gambaran puncak kesadarannya akan kemanusiaannya.
Chairil Anwar, sang pelopor penyair angkatan 45, juga melakukan komunikasi transendensial dengan dirinya, ketika menjelang kematiannya. Dalam puisinya Yang Terampas dan Yang Putus Ia menyatakan kesadaran eksistensialnya akan kematian dengan berdialog dengan maut secara sangat romantik “aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang, dan aku bisa lepaskan lagi kisah baru padamu”. Chairil pujangga besar itu pun butuh “berbenah” ketika menunggu kedatangan “aku” sang maut. Tetapi frasa ‘dan aku bisa lepaskan lagi kisah baru padamu’ adalah frasa yang konotatum sama dengan frasa ‘aku cinta kehidupan’ dari Husni. Bahwa kedatangan maut adalah jalan bagi kehidupan baru yang sesungguhnya, maka Chairil menyatakan ‘aku bisa lepaskan lagi kisah baru padamu’.

M.Taslim Ali, seorang penyair yang muncul dalam rentang antara era Pujangga Baru dan era Angkatan 45 adalah salah satu penyair yang menulis puisi tentang kematian secara mistik. Dalam  puisi Aku dan Debu yang dituliskan pada tahun 1948 ditegaskannya “Pada akhir jalanku, kembali pada debu, dari gelap ke  caya, di mana aku lupakan debu”. Taslim menggunakan cara pandang terhadap maut dalam aspek yang Sangat kompleks secara hermeneutik. Ia membicarakan maut dalam dimensi ruang yang tanpa posisi, yang diciptakannya sendiri. Sebuah ruang diantara kehidupan-kematian-dan pasca kematian, ruang yang belum pernah dikenal.

Dalam banyak aspek Taslim mempunyai kesamaan dengan cara penyair Kripur menuliskan puisi tentang kematian. Logika tentang kematian dipahami justru sebagai puncak kehidupan bukan sebagai akhir kehidupan. Konsep “kembali pada debu” adalah sebuah proses sublimatif dari kelahiran, seperti sebuah perjalanan “dari gelap ke caya”. Puncak sublimasinya terletak pada konklusi bahwa pada kematian itulah kehidupan terlupakan, bukan bahwa pada kematian itu kehidupan berakhir sebagaimana yang banyak dipahami orang.

Maut bagi banyak penyair adalah sebuah “ruang” transportasi spiritual, tempat manusia mengikis jarak sedekat mungkin dengan Tuhannya. Seorang penyair besar Amerika, Walt Whitman dalam kumpulan Leaves of Grase, menuliskan sebuah puisi panjang yang judul terjemahannya “Bila Pohon-Pohon Lilak di Gerbang Taman Berbunga” mengambarkan dialog panjang penyair dengan maut. Pada akhir sajaknya Ia menegaskan “Bagi kekarnya cengkraman tangan dingin sang maut…Kubingkiskan kau seuntai lagu saat kau datang tanpa hati ragu, datang menyongsong dengan ikhlas…dikota-kota yang sesak padat di dermaga padat merapat, dan jalan-jalan raya, kutembangkan lagu ini dengan gairah ria bagimu o, maut

Sajak-sajak kematian bagi banyak penyair adalah bagian dari sebuah jalan pembebasan, yang dalam istilah almarhum Kuntowijoyo (dalam sebuah essainya “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra Transendental) menjadi jurubicara bagi kemanusiaannya yang menangkap dunia makna yang lebih dalam, yang lebih abstrak, spiritual, dan yang paling tersembunyi. Dalam sajak-sajak tentang maut, penyair mengambil tempat yang jelas, sebagai juru bicara bagi kepastian ada dan datangnya sang kematian. Sebagai juru bicara kematian, penyair tidak sekedar menjadi penyampai atas apa yang dirasakannya tentang kematiannya sendiri, tetapi juga apa yang “terjadi” pada sebuah kematian seseorang. Vicente Aleixandre misalnya, penyair pemenang Nobel bidang sastra tahun 1977 itu dalam sajak Tubuh dan Jiwa terjemahan Sapardi Djoko Damono menyatakan “Diatas mayat itu, malam terulur tanpa jiwa. Jiwa yang lepas, jiwa yang diluar tubuh, menyentuh lembut sosok duka yang ditinggalkan”.

Bahkan penyair-penyair muda, tidak sedikit yang mengambil perannya sebagai juru bicara kematian. Ibnu Hajar dalam sajak Percakapan Langit, menggambarkan bahwa dalam sebuah dialog yang sangat duniawi sekalipun, kadang-kadang pembicaraan tentang kesadaran kematian harus dimulai dan disiapkan. Sebagaimana dituliskan hajar “prasasti ruh yang seringkali memoles tidurku, begitupun tuhan yang selama ini kita kenal, hanyalah sebatas ucapan dari kebodohan…kemudian logika kita pun menyapa kematian”. Pada sajak Catatan Dari Kamar Hotel VII, Hajar bahkan menuliskan kesaksiannya akan waktu tiba kematian “Dimana disana (di kematian) telah kutuliskan sebaris sajak kesaksian, agar pada saatnya nanti kita dapat berkemas menuju ruang yang tak pernah kita kenal”.

Andhika Mappasomba, penyair muda yang energik dan banyak bermain pada metafora vitalitas spirit yang menonjol dalam sajak-sajaknya sekalipun, menuliskan pesan kematian dalam sajaknya Tanah Pemakaman, Tuhan. Penyair ini, telah melakukan loncatan metafor atas waktu kehidupannya. Melakukan dialog transendensial antara Tuhan, kenyataan hidup kemanusiaannya, dan kepastian kematian. Dengan kesadaran puitik yang memelas, Ia menyatakan “Tuhan engkau diatas segala maha, pinjamkan aku tanah seukur tubuh, tanah makamku diakhir kata, jangan tertindih bukit atau gunung, segundukan tanah bila engkau rela”.

Salah satu kemungkinan utama seorang penyair mengambil peran sebagai juru bicara kematian, adalah kemampuan dasar yang dimiliki untuk melakukan lipatan-lipatan metafora terhadap apa yang ditangkap dari suasana kematian. Metafora adalah ungkapan yang tak terbatas pemaknaannya, sehingga sesuatu yang sangat dalam, halus, mistik, abstrak, tenang, dan bisu sekalipun dapat diungkapkan dalam seutas kata dan serangkaian frasa puitik. Metafora itu sendiri, memang memungkinkan menjelaskan sesuatu dengan cara yang tidak langsung, metafora dapat mengkonsepsikan apa saja yang kadang sangat sulit dijelaskan melalui tatanan kalimat yang biasa.
Akan sangat sulit bagi kebanyakan orang untuk menjelaskan kedatangan sang maut padanya, situasi tersebut tidak hanya membutuhkan kepekaan yang kuat tetapi juga membutuhkan kemampuan berdialog dan kemampuan menyampaikan apa yang dirasakan. Tidak banyak orang yang dapat menjadi juru bicara kematian, terutama pada kematiannya sendiri, tapi penyair bahkan menjadi juru tulis kematian pada kematiannya sendiri. Seperti tidak sederhana untuk menuliskan sebait kalimat yang damai ketika maut mulai menjelang, sebagaimana Husni Dajamaluddin sang penyair itu menuliskan “Jemputlah kapan saja…, toh kita bukan seteru, kita adalah sekutu.


Ahyar Anwar:
Dosen UNM, Pemerhati Masalah Sosial-Kebudayaan
nusantarahost.com
Komentar